Selasa, 08 Juli 2008

Mengenal Singkat Korban Traficking


Trafficking adalah istilah baru untuk praktek perdagangan manusia maupun yang berhubungan dengan kegiatannya. Trafficking sendiri memang sudah berlangsung sejak jaman baholak. Namun sekarang semakin mencuat kedepan karena begitu banyak anak negeri ini maupun dinegara-negara lainnya yang menjadi korban. Kasus trafficking banyak dialami oleh Negara miskin dan berkembang. Warga Negara ini melakukan migrasi ke Negara yang cukup baik kondisi ekonominya dan bekerja disana sebagai buruh maupun pembantu rumah tangga bagi kaum perempuan. Kegiatan traficking jelas bertentangan dengan hak asasi manusia dan gender.
Untuk Indonesia kasus perdagangan manusia sudah berlangsung lama terutama yang bekerja di Malaysia maupun di Timur Tengah. Kasus ini terjadi karena kebutuhan dan tidak ada pengetahuan yang cukup dari calon pencari kerja sehingga mereka mudah diperdaya oleh agen pencari kerja yang menyalurkan.
Yang menjadi korban traficking bisa terjadi pada orang dewasa maupun anak-anak baik laki maupun perempuan. Namun dilapangan yang lebih banyak menjadi korban adalah kaum anak dan perempuan. Melihat dari kebanyakan korban ini memang secara fisik jelas lemah dan pengetahuan mereka juga kurang.
Untuk mengenal orang yang menjadi korban traficking dapat dilihat melalui 3 (tiga) proses sebagai berikut:
- Perekrutan
- Pengangkutan
- Penyaluran

Pada tahap perekrutan

Korban diimingi dengan janji-janji manis seperti dengan gaji yang tinggi, orang yang merekrut keluar masuk kampung mencari orang yang mau bekerja diluar negeri. Mereka tidak memiliki ijin usaha PJTKI resmi dan kadang melibatkan masyarakat kampung itu sendiri untuk mencari orang dengan imbalan sesuai kesepakatan. Biasanya berkisar Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 500.000,- per-orang jika mendapat calon pekerja. Dalam perekrutan mereka dijanjikan pekerjaan sesuai tempat yang diminta oleh korban. Dengan janji ini korban mau menerima dengan tidak mempertimbangkan baik buruknya yang penting saya bisa bekerja keluar negeri membantu orang tua meringankan beban keluarga. Orang tua korban kadang dititipi uang oleh calo tersebut untuk meluluskan kepergian anaknya.

Tahap kedua adalah proses pengangkutan.
Sebelum korban ini diangkut ditujuan biasanya melalui proses yang bertele-tele dan agak sembunyi-sembunyi dalam pengangkutannya. Mereka ditampung dari satu tempat ketempat lainnya. Korban biasanya tidak dibawa melalui jalur lintas batas resmi kalaupun lewat maka ia tidak melalui proses pemeriksaan yang normal adanya (medical cek-up, etc). Identitas mereka juga diubah sehingga tidak sesuai dengan nama, umur dan alamat mereka sesungguhnya.

Tahap terakhir adalah Proses Penyaluran.
Setelah mereka sampai dinegara tujuan korban ditampung lagi ke agen. Sampai diagen mereka dicari majikan dan jenis pekerjaan yang ditentukan oleh agen sendiri yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Biasanya disalurkan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, tidak ada kesepakatan kerja, berapa gaji, jam kerja, serta hak-hak lainnya. Sementara itu calo yang berasal dari Indonesia sendiri sudah lepas tanggungjawab, mereka mendapat uang dari agen luar negeri sesuai jumlah orang yang mampu mereka rekrut.
Dalam proses penyaluran ini banyak korban yang tertipu. Mereka dipekerjakan ditempat-tempat hiburan malam, maupun yang sejenisnya . Mereka tidak dapat menolak kalau ada yang mencoba kabur biasanya sulit sekali lepas dari kejaran agen maupun pihak keamanan setempat. Mereka akan dikembalikan lagi ke agen atau di Penjara karena tidak memiliki pasport.

Melihat ketiga proses ini maka seseorang dikatakan korban traficking jika tidak disalurkan dengan baik dan tidak melalui prosedur yang benar. Selain itu kekerasan terhadap korban yang menyebabkan depresi batin maupun kecacatan fisik sering menimpa korban.
Di Kalimantan barat daerah yang paling banyak menjadi korban traficking adalah di Kabupaten Sambas, Landak, Bengkayang, Sanggau dan Kapuas Hulu. Kebanyakan korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Mereka pada umumnya bekerja di negera bagian Sarawak Malaysia. Mereka masuk melalui jalur Entikong maupun melalui jalan setapak disepanjang perbatasan.
Pengalaman kami saat menjemput korban di Pos Lintas Batas Entikong kondisi mereka saat pemulangan sangat memprihatinkan. Mereka dibawa menggunakan mobil tahanan/penjara dan telah dipenjara dari yang 2 minggu sampai dengan 3 tahun lamanya dengan berbagai kasus. Kegiatan pemulangan ini paling tidak 1 kali dalam sebulan. Mereka yang dipulangkan pada umumnya tidak membawa apa-apa karena tertangkap oleh pihak keamanan Malaysia. Pasport maupun gaji mereka banyak yang tidak dibayar oleh majikan bahkan ada yang diambil oleh agen.
Jadi kegiatan traficking jelas merugikan korban serta melanggar hak asasi manusia. Korban tidak bisa berbuat banyak jika sudah terjadi begini. Negara sebagai pelindung warganya juga tidak mampu berbuat banyak malah sering mengabaikan rakyatnya sendiri. Walau ada Undang-undang yang dibuat tapi belum mampu mengatasi kegiatan traficking. Namun bagi anak negri ini terutama orang muda dan orang tua mungkin perlu lebih teliti dan dapat belajar dari ketiga proses diatas. Jika hendak bekerja diluar negeri sebaiknya berpikir 1000 kali sebelum memutuskan pilihan. Sebab begitu banyak korban dengan kondisi jiwa yang sakit serta cacat fisik yang diderita yang sama membunuh kemerdekaan dan hak setiap orang.
Tentunya agen yang direkrut untuk mencari tenaga kerja ini sekarang masih banyak berkeliaran dan malah melibatkan keluarga dekat sendiri untuk mencari korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar